PADANG – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat terdapat lima kasus dugaan penyiksaan oleh aparat penegak hukum dalam dua tahun terakhir.
“Dari 2021 sampai 2022, Sumatra Barat (Sumbar) dicederai dengan kasus-kasus dugaan penyiksaan. LBH mendampingi lima kasus dugaan penyiksaan dalam proses penegakan hukum, ” ujar Advokat LBH Padang, Adrizal dalam relis yang diterima Senin (27/6/2022).
Pertama, dugaan penyiksaanterhadap VA, 33 tahun, yang merupakan tersangka kasus dugaan pencurian kendaraan bermotor yang ditangkap oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Datar pada 22 Desember 2020.
Dia diduga menjadi korban penyiksaan saat proses pemeriksaan BAP di Polres Tanah Datar. Isteri korban dilarang bertemu korban dengan alasan larangan Covid-19.
Isteri korban berkali-kali meminta bertemu korban dan akhirnya bisa melihat dari jarak jauh dengan kondisi muka babak belur, bibir bengkak, dan mata lebam.
Atas kejadian ini, isteri korban melapor ke SPKT Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar, tetapi ditolak karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup. Alhasil, isteri korban melapor ke Propam Polda Sumbar dan diputus permohonan maaf secara etik oleh Majelis Etik terhadap enam anggota Polres Tanah Datar.
“Hingga saat ini, Propam Polda Sumbar tidak mau memberikan putusan etik kepada korban dan pendamping.
Berdasarkan penuturan korban, ia disiksa oleh lima orang polisi Polres Tanah Datar dengan menggunakan alat peregangan, kayu, dan balok.
“Tidak hanya itu, sewaktu dilakukan penyiksaan, mulut korban dilakban hitam dan juga disulut dengan sulutan rokok. Terhadap kejadian ini, korban mengeluhkan kondisinya seperti badan sakit, bentuk tulang di bawah lutut sudah berubah, dan sakit kepala terus menerus, bahkan saat kejadian urin mengeluarkan darah, ” jelas Adrizal.
Kedua, dugaan penyiksaan di Lapas Agam, terhadap SA, 39 tahun, narapidana kasus dugaan pengguna narkoba yang sempat melarikan diri pada 28 Agustus 2021 dengan cara memanjat pagar.
“Pada 9 Januari 2022 sekitar pukul 01.30 WIB, korban ditangkap di Kecamatan Tanjung Mutiara oleh pihak Polres Agam dan dibawa ke RSUD Lubuk Basung karena mengalami luka tembak di bagian betis, ” sebutnya.
Padahal, dalam video penangkapan yang beredar, korban tidak melakukan perlawanan apa-apa dan tidak ada luka tembak yang tervideokan. Sekitar pukul 03.30 WIB, setelah menjadi perawatan, SA diserahkan ke Lapas Lubuk Basung dan dimasukan ke dalam sel pengasingan.
“Keesokan harinya, 10 Januari 2022 korban dikabarkan meninggal dunia dengan posisi leher terikat dengan tali rafia warna merah di selnya. Namun kaki terjulur ke lantai dalam posisi duduk. Sewaktu menyerahkan jasad korban, keluarga diminta untuk menandatangani surat berupa surat penerimaan jenazah, surat tidak menuntut, tidak akan melakukan visum ataupun autopsi, ” sebut Adrizal.
Dalam proses penyelenggaran jenazah keluarga menemukan kejanggalan seperti adanya luka robek bagian dahi, adanya jahitan di kepala, adanya luka memar bagian tangan kiri, dan telinga mengeluarkan darah.
“Saat ini sudah dilakukan serangkaian proses hukum tetapi proses tidak berjalan lancar. Kepolisian bersikukuh korban bunuh diri namun tidak pernah melakukan autopsi oleh dokter forensik. Pendamping mendorong dilakukan autopsi, ” sampainya.
Ketiga, dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Agam terhadap GA, 34 tahun, tersangka tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak.
GA ditangkap sekira pukul 15.00 WIB di pondok tempat dia bekerja oleh Polres Agam. Dalam proses penangkapan keluarga tidak mengetahui. Kemudian, keluarga 20.00 WIB keluarga diminta ke RSUD Lubuk Basung dan sesampainya di sana pihak rumah sakit mengatakan korban udah dirujuk ke RSUP M Djamil yang ada di Padang dan menghembuskan napas terakhir.
Sesampainya jenazah di rumah keluarga menemukan kejanggalan pada tubuh korban seperti luka dan lebam di bagian kepala dan wajah, pergelangan tangan diduga patah, pendarahan di telinga dan luka memar di bagan kepala.
“Tim investigasi LBH Padang, menemukan batu yang diceceri darah di lokasi kejadian. Polisi mengatakan korban melawan saat terjadi penangkapan dengan menyerang kepolisian. Saat ini kasus ini sudah di tangani oleh Polda Sumbar, ” ungkap Adrizal.
Keempat, dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Padang Pariaman terhadap Y, 38 tahun, tersangka penyalahgunaan narkotika.
Korban ditangkap di depan rumah orang tuanya sekira pukul 19.00 WIB. Sekira pukul 22.00 WIB korban dibawa oleh kepolisian resor Padang Pariaman dengan keadaan yang sehat.
Namun keesokan harinya, keluarga mendapat kabar dari tetangga yang berobat ke rumah sakit bahwa korban meninggal dunia.
“Sewaktu keluarga melihat jenazah korban ditemukan kejanggalan seperti mata lebam, kepala luka sebelah kiri, kepala belakang memar, pelipis atas robek, banyak luka pada kaki, hidung mengeluarkan darah, adanya luka robek di telinga. Saat ini sudah dilaporkan kepada Polres Padang Pariaman hanya saja masih sampai proses penyelidikan, ” terangnya.
Kelima, dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian di Lapas Sawahlunto terhadap SY, 42 tahun, narapidana atas kasus penyalahgunaan narkoba di Lapas Biaro yang kemudian dipindahkan ke Lapas Sawahlunto tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga.
Pada 23 Mei 2022, keluarga mendapat telepon dari pihak Lapas Sawahlunto yang mengatakan bahwa korban mengalami sakit dan tidak sadarkan diri dengan alasan putus obat. Pukul 19.30 keluarga mendatangi RSUD Sawahlunto untuk melihat kondisi dari korban dalam keadaan tak sadarkan diri.
Berdasarkan rekam medis, didiagnosa korban ada meningitis dan suspect TB. Keesokan harinya korban dikabarkan meninggal dunia.
Sewaktu penyelenggaraan jenazah, keluarga menduga adanya pelanggaran HAM berupa penyiksaan yang dialami korban dengan melihat berbagai kejanggalan yang ada pada tubuh korban seperti adanya cairan seperti darah yang keluar dari hidung, luka di pergelangan tangan, punggung seperti ada luka cambuk, adanya luka lebam pada dada serta banyak luka lebam di bagian tangan.
Adrizal menekankan setiap narapidana memiliki hak untuk tidak disiksa. Hal ini diatur dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia.
“Kendati pun setiap tersangka diduga kuat telah melakukan tindak pidana, semestinya dilakukan penegakan hukum sebagaimana yang telah diatur oleh ketentuan hukum (acara) pidana yang berlaku. LBH mengecam setiap proses penegakan hukum dengan melanggar hukum dan hak asasi manusia, ” tegas Adrizal.(**)